(Gambar: Pixabay) |
Aku berharap suatu saat kelak, semua yang terjadi di masa
saat ini, berubah menjadi masa yang
lebih baik di masa mendatang. Tak ada lagi tangis kelaparan.
Semua bentuk kekerasan dan kekejaman semoga berakhir. Ini adalah doaku suatu
malam dingin musim kemarau, diringi suara perut yang berdendang.
Peperangan
telah melululantakan kebahagiaan kami. Menghancurkan segala impian kami dengan
letupan-letupan mortil-mortil yang berasal dari neraka. Desing peluru, jeritan
terdengar. Setiap hari malaikat maut tak henti-hentinya pembayarkan tugasnya.
Seandainya ada sebuah alat untuk bisa melihat masa depan, ingin tahu masa
mendatang seperti apa nasib kami. Apakah kita bisa bertahan? Atau mungkin kami
sudah binasa? Bayangan kami seperti nasib bangunan-bangunan di kota kami yang
berkeping-keping akibat peperangan. Kota yang indah. Kota yang selalu
menghidupkan harapan untuk kami, untuk saat ini tidak ada lagi. Keindahannya
pun berangsur-ansur memudar. Sungai Hendegran sebagai poros keindahan di kota
kami kini telah meredup seiring dengan adanya peralihan fungsi sebagai
pertambangan emas. Tak ada lagi perahu-perahu yang mengelilingi taman kota. Tak
ada lagi angsa-angsa yang memadu kasih. Tak ada ikan-ikan yang biasanya
menyambut roti para pengunjung. Ketegangan ini telah berlangsung
bertahun-tahun, ketika perang saudara pecah. Sekarang perang dimulai lagi
setelah beberapa tahun yang diadakan gencatan senjata.
“Kapan
peperangan ini akan berakhir? tanyaku pada ibuku.
“Entahlah,
kami yang ada di tenda pengungsian belum tahu, perang saudara ini akan
berakhir. Padahal kata kakekmu, dulu hubungan antar negeri seberang dengan
negeri kita baik-baik saja. Tak ada pertikaian. Tak ada saling berseteru di
antara keduanya,” tutur Ibu dengan mata berlinang, tak kuasa menahan keadaan
seperti ini.
Aku
melihat orang-orang di pengungsian. Mereka tampak seperti orang yang kehilangan
asa. Banyak bocah yang menangis kehilangan anggota keluarganya. Tangisan itulah
yang menjadikan tempat ini sesak akan kesedihan. Gegetiran hidup semakin terasa
nyata, bila melihat korban-korban
berbaring di atas tikar. Kesakitan-kesakitan seakan menghimpun kesedihan
yang tak dapat ditanggung seorang diri. Apa kabar ayahku? Apakah ayahku masih
hidup? Atau bernasib sama dengan pejuang-pejuang lainnya? Pertanyaan-pertanyaan
itu selalu sesak dalam pikiranku. Tak ada khawatiran melebihi anggota keluarga
dalam perjuangan di medan perang. Aku
selalu berharap malaikat tidak menjabut nyawa ayahku dalam medan perang.
Maka
di malam musim kemarau ini, ketika orang-orang sibuk dengan mimpi-mimpi mereka
masing-masing, aku selalu bertanya kepada Tuhan, apakah negeriku bisa kembali
seperti semula. Seperti dulu kala ketika anak-anak riang, berlari ke sana ke
sini di padang rumput, dikelilingi pohon-pohon pinus. Bermain sampan di sungai
Hendegran di kala sore hari, menikmati senja keemasan. Tetapi aku rasa, Tuhan
tak akan mengembalikan kotakku seperti semula. Meskipun Tuhan berkuasa atas
segalanya. Tuhan juga tahu jika kota kami dihancurkan. Tuhan juga tahu jika
perang ini tetap berlangsung, padahal Tuhan tahu jika ia tidak suka dengan
kerusakan. Mengapa Tuhan tak menjawab pertanyaanku? Aku seperti berbicara
sendiri, padahal aku meluapkan segera kegelisah dan kesedihan kepada Tuhan,
tetapi Tuhan tidak menjawab.
***
Hari
ketiga peperang, sudah tak terhitung lagi jumlahnya prajurit yang gugur.
Masing-masing kerajaan telah banyak kehilangan kekuatan. Seorang ahli siasat
telah mempersiapkan strategi jitu untuk peperangan hari ke empat. Semua
pemimpin angkatan militer kerajaan berkumpul membahas taktik untuk peperangan
besok. Rush sebagai panglima perang memimpin jalannya rapat. Sementara para
perwira dan beberapa orang ahli perang tengah berpikir selang perang ke empat.
Banyak prajurit mengerang kesakitan. Banyak pula mereka yang sekarat. Ia tampak
sibuk dengan pikirannya. Ia memikirkan bagaimana cara membuat jebakan, karena
banyak pasukannya yang gugur pada hari pertama dan kedua.
“Kita
harus mengambil alih jalannya perang esok. Tempatkan pasukan panah kebelakang,
sedangkan pasukan tombak, kita tempatkan ke sisi depan. Ledakan mortil-mortil
itu bersamaan dengan anak panah menuju arah musuh.” Seorang ahli siasat,
sekaligus panglima perang memberikan pengarahan. Tampak gagah, berjenggot,
tinggi besar. Rush adalah seorang panglima perang yang disegani di wilayah
Martasa. Wilayah yang terdiri beberapa negeri. Wilayah ini dihubungkan oleh
Sungai Hendegran yang telah menjadi saksi lahirnya negeri-negeri di wilayah
itu. Peradaban lahir sana. Semua ilmu pertanian, kedokteran, hasil tambang dan
lain sebagainya turut menjadi saksi kejayaan.
Dulu
kala, ketika Raja Robertozo masih menduduki singgasana, rakyat makmur, tentram
dan damai. Tetapi setelah negeri Martasa dibagi menjadi dua kerajaan. Kecemasan
itu timbul sampai pada titik di mana kehancuran terlihat. Dua pangeran dari dua
permaisuri pada akhirnya berebut kekuasaan. Di pihak pengeran Arcadio yang
sekarang menduduki sebagai raja Rumansia menuntut haknya atas nama keadilan
dengan segala cara. Termasuk tak memberi kesepakatan atas perang ini berlangsung di
mana. Akibatnya kota utama negeri Ginari menjadi hancur. Itulah penyebab
kehancuran negeri Ginari. Sementara raja Carles diungsikan ke negeri sahabat.
Kota
Khayalan digulung mendung tebal. Kami tidak tahu jika suatu hari ketika kami
pulang dari pengungsian, kota kami telah
berubah menjadi kepingan-kepingan reruntuhan. Atau mungkin ayah tak kembali.
Perang selalu menyengsarakan. Perang itu selalu kejam, dan perang itu selalu
memisahkan kami dari orang-orang yang kami sayangi. Kemungkinan-kemungkinan itu sepertinya
sangat nyata, bila mana ada kabar dari medan perang yang selalu memberi kabar
tak baik. Jantungku
terasa berdetak menggedor-nggedor dada. Ulu hati rasa nyeri. Mata memanas setiap
mendengar kabar pahit. Seorang prajurit membawa kabar, bahwa pasukan musuh
telah memasuki kota. Itu artinya pasukan pasukan yang dipimpin oleh panglima
Rush terdesak. Kemungkinan besar mereka akan bertahan. Aku ingat ayahku pernah
berkata, menyerang adalah cara bertahan yang terbaik. Ayah berjanji, akan
kembali dengan keutuhan negeri ini.
“Jika
ayah tidak kembali bagaimana?” ucapku, sebelum pamit ayah pergi berkumpul
dengan prajurit yang lain.
“Jika
ayah tidak kembali, maka ayah telah gugur dan tidak kembali. Namun yang harus
kau tahu, tidak ada alasan untuk tidak mengobarkan nyawa demi negeri. Jika
kelak kau besar, jadilah orang yang memiliki cinta kepada tanah air.” Ia
memelukku. Memeluk adikku. Memeluk ibuku. Memeluk segala kenangan yang
terlewati. Kemudian naik ke pelana kuda. Kuda itu meringik. Ayah melambaikan
tangan. Aku pun demikian. Tubuh ayah dan kudanya semakin mengecil dari
kejauhan.
***
Seperti
malam yang sudah-sudah, hampir terlewati dengan musim kesedihan. Malam sudah
hampir melampaui batas waktu. Aku masih menunggu jawaban dari Tuhan, sekaligus
meminta kepada Tuhan, perang hari ke empat untuk membantu para prajurit untuk
bisa memenangkan peperangan. Aku selalu bangun di kala dini hari, tujuannya
adalah supaya tidak ada yang mengusik ketenanganku untuk berdialog dengan
Tuhan. Aku lihat masih ada bintang. Aku juga melihat rembulan masih ada di
malam ini. Tak ada mendung menggulung langit. Malam ini terasa lebih lengang
dari pada malam-malam sebelumnya, hanya saja suara ayam jantan sesekali berkokok.
Setelah melewati beberapa waktu, waktu fajar tiba. Orang-orang di pengungsian
beberapa bangkit dari tidurnya. Ibu menghampiriku.
“Apa
kau tidak tidur dari semalam,” tanya ibu.
“Tidur
sebentar. Aku terjaga untuk meminta jawaban dari Tuhan,” ucapku.
“Jawaban
tentang apa?”
“Tentang
semua ini. Tentang mengapa peperangan ini terjadi. Aku berharap semua kembali
seperti semula.”
Fajar
mulai menyingsing. Aku dan orang-orang diberi roti gandum yang dikirim dari
istana. Aku menatap ke arah utara di mana peperangan itu dilaksanakan. Menurut
kabar, perang hari ke empat akan berlangsung pagi ini setelah matahari
merangkak naik. Prajurit istana menyampaikan hal ini dan memohon bantuan doa dari
rakyat Ginari. Tetapi itu sebuah hal yang sulit, karena sebagian besar kekuatan
bala tentara Ginari sedikit demi sedikit berkurang. Sementara dari pihak musuh
banyak bantuan dari negeri-negeri seberang.
Ringikan
kuda terdengar dari kejauhan. Seorang prajurit menuruni bukit, terus mendekat
ke perkemahan pengungsian. Selang beberapa waktu, seorang prajurit
tergopoh-gopoh datang ke tenda pengungsian. Prajurit mengikat kudanya di
samping tenda. Aku menduga dua orang prajurit itu pasti hendak memberi kabar dari
medan perang. Sepertinya itu prajurit musuh. Semua orang menyambut kedua
prajurit itu. Orang-orang tampak tegang. Berita baik atau buruk. Orang-orang
keluar dari tenda, berkumpul di depan tenda.
Salah satu prajurit itu memberi kabar bahwa perang sudah berakhir. Musuh
sudah menduduki istana. Negeri Ginari telah runtuh. Raja baru sudah lahir.
Prajurit itu juga menyampaikan pesan dari sang raja, bahwa yakinkah akan ada
perubahan yang akan membawa bangsa ini jauh lebih baik. (*)
Penulis: Annas Sholehuddin, Pimpinan redaksi
LPM NUSA UNU Yogyakarta. Mahasiswa THP (Teknologi Hasil Pertanian). Anggota
Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY) ini, telah menerbitkan karyanya di
sejumlah media massa. Cerpennya terhimpun dalam antologi Doa dalam Cinta,
Sayembara Cerpen Nasional. Ia juga finalis National Community Investors Award
2018.