-->
Misinformasi Dalam Era Banjir Informasi
Misinformasi Dalam Era Banjir Informasi

Misinformasi Dalam Era Banjir Informasi

Artinya adalah, benar bahwa ada informasi palsu yang disebarkan untuk tujuan menipu. Sialnya, barangkali masih banyak lagi informasi-informasi lain yang kita terima dan ternyata dikaburkan antara benar atau palsunya; semu atau nyatanya; fakta atau rekayasanya.


Oleh: Rizaal Hidayatulloh (Mahasiswa Informatika UNU Jogja)

"Kita hidup dalam banyaknya misinformasi dalam era banjir informasi"
Masih jelas teringat di pikiran saya kutipan di atas yang dituturkan Prof. Purwo Santoso, MA, Ph.D dalam suatu kesempatan sekitar setahun yang lalu. Awalnya, saya mengira Prof. Purwo mengatakan demikian seiring maraknya informasi kabur sepanjang satu dekade terakhir, dimana teknologi digital dengan suburnya mengalami percepatan. Setelah saya pikir-pikir lagi seiring dengan isu baru yang akhir-akhir ini berkembang, nampaknya ungkapan Prof. Purwo tersebut lebih jauh menerawang juga ke masa awal Millenial. 

Adalah isu soal skenario pelengseran Gus Dur yang keras mencuat seiring terbitnya Buku “Menjerat Gus Dur” di awal dekade baru ini--setelah sedikit saya telusuri, sejatinya awal berisiknya sudah sejak pertengahan tahun 2019 lalu. Sebagaimana diberitakan mojok.co (01/01) dan banyak media mainstream lainnya, isu ini berkembang ketika Jurnalis lepas Virdika Rizky Utama menemukan surat yang berisi laporan perkembangan rencana penurunan Gus Dur sebagai presiden yang dibuat pada 29 Januari 2001.

“Hal yang saya lakukan berikutnya (pasca penemuan surat tersebut di atas) adalah memberi tahu dan mendiskusikannya dengan teman-teman saya di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Sebagai alumni jurusan sejarah, saya dan teman-teman mendiskusikan keabsahan dokumen tersebut,” ungkap Virdika dalam esainya yang dimuat alif.id.

Temuan Virdika ini saya pikir membuka kenyataan bahwa informasi yang telah lama beredar soal pemakzulan Gus Dur telah dikaburkan melalui konstruksi realitas semu yang barangkali dipercaya banyak orang begitu saja. Tanpa sadar, pikiran kebanyakan dari kita telah terstimulasi dalam simulakrum dan puas karenanya—meminjam istilah Dee Lestari dalam bukunya Supernova: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh.

Ketika kemudian Gus Dur dahulu sempat diundang dalam acara Kick Andy, beliau juga mengatakan bahwa ia dilengserkan secara politis, sedang secara hukum sampai sekarang belum bisa dibuktikan bahwa ia bersalah. Namun, informasi yang beredar ke publik kadung simpang siur saling berjejalan, sampai susah diidentifikasi mana yang sebenarnya.

Hal semacam itulah kemungkinan yang kemudian disebut "misinformasi dalam era banjir informasi" oleh Prof. Purwo. Saya kira bukan hanya sekadar misinformasi saja yang dimaksud Prof. Purwo, tetapi juga disinformasi atau info yang sengaja dipalsukan yang merupakan versi lebih buruknya dari misinformasi. Artinya adalah, benar bahwa ada informasi palsu yang disebarkan untuk tujuan menipu. Sialnya, barangkali masih banyak lagi informasi-informasi lain yang kita terima dan ternyata dikaburkan antara benar atau palsunya; semu atau nyatanya; fakta atau rekayasanya. 


Nyatanya kebanyakan dari kita memang terkurung dalam ruang simulakra, ruang dimana realitas dan ilusi benar-benar tercampur baur menjadi satu dan susah dibedakan karena adanya reproduksi informasi palsu secara berulang dan terus menerus sehingga memunculkan hiperealitas. Hal ini sesuai dengan terminologi Jean Baudrillard dalam teori Hiperrealitasnya.

Dulu Baudrillard menemukan teori hiperrealitas nya ketika menonton televisi. Seperti diceritakan Ardi Wilda dalam artikelnya "Di sana kita Pernah Bersama", teori ini ditemukan kala Baudrillard menyaksikan pertandingan sepakbola dari layar televisi yang nampak sangat heboh jika dibandingkan dengan aslinya yang sepi-sepi saja. Teori ini telah meleburkan batasan antara tontonan dengan kenyataan sebut Ardi Wilda.

Bukan hanya melalui televisi yang relasinya dengan penonton hanya sepihak, pada masa sekarang ini, fenomena hiperrealitas agaknya juga berkembang dengan adanya media sosial yang secepat kilat membuat informasi tersebar. Bukan hanya itu, adanya algoritma sorting media sosial juga menjadikan informasi semakin masif datang, berjejalan seolah saling memvalidasi. Banyak pula informasi yang dipoles sedemikian rupa agar memunculkan keterpukauan bagi yang menyaksikannya.

Di media sosial kita berkumpul, bergembira, bersedih, berdebat, berpendapat, berkabar, saling umpat, dan mengkonsumsi apa-apa yang ada di dalamnya. Tentu semua karena bercampurnya kenyataan dan kepalsuan, hingga belakangan ini kita kenal akan istilah informasi hoax (palsu) yang sejatinya kita tidak pernah benar-benar tahu mana yang menjadi sebenar-benarnya kebenaran.

Dr. Abdul Ghoffar MBA. juga pernah mengungkapkan bahwa Hoax (informasi palsu) yang diproduksi terus menerus akan menjadi kebenaran. Artinya bukan kebenaran yang semestinya, tetapi ada pergeseran kepercayaan dalam tatanan masyarakat kita. Dalam hal ini, kebenaran telah kalah dibenamkan oleh kepercayaan yang belum tentu benar. 

Mas Tatag salah satu mentor saya mengatakan bahwa, kepercayaan memang derajatnya lebih tinggi dari kebenaran. Misalnya saja seperti seseorang yang telah memercayai--entah dari mana sumbernya--bahwa bumi itu datar, maka tanpa banyak alasan dan bukti logis lagi, bumi memang datar baginya. Berlaku juga sebaliknya bagi orang yang memercayai bahwa bumi itu bulat, maka tanpa banyak alasan dan bukti logis, bumi memang bulat baginya.

"Bagaimanapun, pendapat adalah bahasa persepsi, bukan representasi dari kebenaran itu sendiri," terang mas Tatag kemudian.

Terlepas dari semua tadi, jika kita lihat pola yang ada, sejak era awal millenial dimana saat itu Gus Dur dipaksa mundur sampai sekarang, selalu ada kelompok yang ingin memenangkan kelas dan kepentingannya masing-masing dengan cara apapun dan bagaimanapun—belakangan, media sosial menjadi tempat yang sangat efektif untuk itu. Kita dalam bingkai kelompok yang lain terpaksa atau dipaksa untuk percaya dan menikmati aliran informasi yang ada, dan kita tak bisa banyak berbuat.

Informasi yang berjejalan datang saling menggenapi sepotong demi sepotong kepada kita, di waktu bersamaan juga meracuni pikiran kita sepotong demi sepotong pula.

Baca juga: