-->
Belajar kasih dari Kisah
Belajar kasih dari Kisah

Belajar kasih dari Kisah




 Bulan Rajab adalah salah satu bulan yang istimewa di antara bulan-bulan yang lainnya. Tak hanya kisah ia juga penuh dengan kasih. Sebuah oasis yang bisa kita teguk dan renungkan hikmahnya. Membiarkannya lewat begitu saja, tanpa sapa dan senyum, tanpa cengkrama dan kemesraan, dan tanpa-tanpa yang lainnya adalah hal bodoh. 


Dimulai dari hal-hal kecil saja, dengan menuliskannya misalnya, merangkai potongan kisah yang pernah terjadi di bulan ini, meskipun harus hamba akui sampai kapan pun kisah (27 Rajab) tidak akan pernah mampu hamba ungkap secara sempurna dengan bahasa hakiki maupun metaforik. Kisah itu terlalu nyata, untuk manusia yang fana, dan terlalu luar biasa untuk manusia yang biasa-biasa saja. 

Namun, kembali lagi pada niat awal di atas, tidak ada hal yang lebih berharga selain harapan. semoga tulisan ini dicatat sebagai bentuk tadabbur hamba yang dhaif dan sebagai ungkapan cinta kepada Nabinda Muhammad Saw. Lalu pembaca mengamini.

Dikisahkan pada saat Nabi Saw. sedang dalam perjalanan dari Makkah menuju Palestina, ditemani oleh Malaikat Jibril dan Mikail dengan Buraq sebagai kendaraannya. Malaikat Jibril berkata "Wahai Nabi, turun dan shalatlah di sana" sembari menunjuk sebuah pohon, Nabi turun dan shalat sunnah dua rakaat. Setelah selesai menunaikan shalat tersebut malaikat Jibril kembali berkata, "Apakah engkau tahu di mana engkau shalat barusan?". Nabi menjawab, "Tidak" 
"Engkau shalat di Pohon Nabi Musa" jawab malaikat Jibril.

Syaikh Najmu ad-Din al-Ghaythi, berkomentar dalam Hasyiyah ad-Dardir-nya kenapa Nabi diperintahkan untuk shalat di "Pohon Musa" ratio legisnya adalah karena pohon itu pernah digunakan sebagai tempat berteduh oleh Nabi Musa, saat beliau melarikan diri dari Mesir. Sehingga hal ini termasuk "At-Tabarruk bi atsar as-shalihin wa manazilihim".

Dari potongan kisah perjalanan yang luar biasa ini sekurang-kurangnya pelajaran yang dapat kita petik adalah bahwa Nabi Muhammad adalah mahluk yg paling mulia, namun beliau masih memuliakan segala bentuk kemuliaan, meskipun kemuliaan itu lebih kecil dibanding dirinya. Lebih dari itu, beliau tidak hanya memuliakan orang yg mulia (Nabi Musa), bahkan pada tempat yg pernah menjadi perekam dari napak tilas itu (pohon) pun ikut beliau muliakan.

Maka bagi mereka yangg suka mengkafir-bid'ahkan orang-orang yang senang berziarah di makam para wali. Hamba kira akan lebih bijaksana jika mau melihatnya terlebih dahulu dengan baik, mengamati dengan teliti dan menganalisa dengan seksama.

Benarkah mereka berziarah untuk meminta terhadap kuburan atau itu hanya bentuk penghormatan mereka di makam ulama yg mencintai Allah dan Allah mencintai mereka?

Sebab, jika mereka dikafirkan dengan alasan menyembah kuburan, maka sama saja dengan berkata bahwa Nabi Muhammad juga kafir, karena beliau pernah shalat di samping "pohon" Apakah tidak demikian logikanya?

Baca juga: