Jalan setapak pemukiman desa kecil itu tampak seperti tak dihuni. Mentari tak muncul di langit yang biru-haru, angin kencang menusuk tulang, jalanan becek setelah sedari subuh diguyur hujan bertubi-tubi. Di kanan-kiri jalan terhampar tanah penduduk sebagian ada yang telah disulap menjadi perkebunan dan sebagian yang lain dibiarkan menghijau oleh padang ilalang.
Langit kuyup dan pemukiman penduduk itu memang terlihat sepi. Namun, di tengah-tengah pemukiman terdapat sebuah masjid sederhana berukuran sedang yang tidak pernah sepi dengan lantunan doa dan dzikir para penduduk setempat.
Di teras Masjid bercat hijau yang berjarak tidak terlalu jauh dari pekembunan itu. Sutarjo, 49 tahun duduk mengundi tangan menangkap hangat di antara dua telapak tangannya. Raut wajah pria yang bekerja sebagai tukang kebun itu terlihat lesu.
Sejak surat pemberitahuan dilayangkan tanah kebunnya akan digali dan ditambang oleh pemerintah, Sutarjo selalu dihantui nasib buruk yang akan menimpa keluarganya ke depan. perasaannya menjadi tidak karu-karuan.
Tak pernah dia bayangkan sebelumnya tanah yang sudah menghidupi keluarganya selama ini akan menjadi tumbal bagi kepentingan pemerintah, dia merasa kecewa diperlakukan semena-mena sebagai warga negara. Padahal setiap tahun pajak tanahnya tak lupa dia setor.
Tapi, kedatangan mobil-mobil besar dengan tangan-tangan besi amunisi ke desanya ditambah kepungan puluhan aparat, membuatnya khawatir dan tidak bisa tidur selama beberapa malam, kadang dia terbangun pada tengah malam teringat nasib tanahnya.
Sudah berkali-kali penduduk beramai-ramai telah melakukan protes dan penolakan pada aparat dan setiap kali itu juga Sutarjo dan Sunarji putra tertuanya yang sangat tempramental, tidak pernah absen membersamai para penduduk melakukan perlawanan.
Sialnya upaya yang dilakukan selalu menemui kegagalan. Para aparat itu memilih menjadi robot yang tuli dengan teriakan dan suara penduduk. Justru yang terjadi aparat malah semakin beringas dan menjadi-jadi dengan melakukan berbagai tindakan sewenang-wenang dan gangguan seperti pemadaman listrik, penangkapan anak-anak yang hendak sekolah dan yang terakhir Sutarjo hilang dua hari tidak ada di rumah.
Seorang ibu cemas karena kehilangan anaknya, seorang istri khawatir karena kehilangan suaminya, seorang anak yang kehilangan bapaknya dan semua tindakan keras aparat semakin membuka mata Sunarji, "Jika memang penambangan ini benar kenapa harus seperti ini?" Batinnya
Menghadapi kenyataan seperti itu Sunarji sudah tidak tahan lagi dan tanpa pikir panjang dia putuskan untuk menemui gubernur di kediamannya.
Dan untuk kesekian kalinya Sunarji harus berhadapan dengan komandan aparat yang kemudian sunarji diseret ke sebuah ruangan tapi tak sedikit pun sunarji merasa gentar kemarahannya meledakan berkali-kali lipat melihat sosok yang menyeretnya "Mana komandan?" Bentaknya garang, Mata liar itu menatap tajam pada mata komandan.
Kamu ya? Kamu biarkan saja bajingan-bajingan itu berbuat sewenang-wenang pada para penduduk, heh.!" Sambil menunjuk aparat yang lain matanya membelalak.
"Saudara siapa dari Organisasi mana?" Tanya komandan menjawab dingin tanda gentar.
"Buat apa tanya-tanya akan kubunuh kamu" wajah Sunarji mengarah tepat ke wajah komandan seringai kejam menghiasi wajah cacatnya. Dengan gerakan cepat Sunarji mengeluarkan pisau kecil dari pinggangnya.
"Aku mau menyelesaikan kepala aparat goblok ini, yang lain diam dan tetap berdiri di tempat" Sunarji sudah kehilangan kesadaran, dia semakin erat memegang komandan aparat itu dengan pisau di tangan kirinya ditekankan perlahan ke dada komandan.
"Coba jawab kenapa kau biarkan anak buahmu berbuat sewenang-wenang dan kasar di desaku? Ayo bicara bangsat" hardiknya mendengung di ruangan itu. Ku beri waktu lima menit aku betul-betul ingin tau komandan? Apa alasanmu membiarkan segala tindakan konyol itu terjadi?
"Hentikan" teriak gubernur
Sunarji dengan cepat berbalik badan menyadari gubernur sudah ada di belakangnya.
"Gubernur, kamu dulu sosok yang baik pada setiap wargamu saat kampaye" wajahnya kembali beringas
"Tak kusangka kau akan memihak bajingan-bajingan itu. Jadi, kau pun bangsat, kau pasti mendengar suara jeritan rakyat dan bunyi mesin mobil aparat? Bagaimana merdu sekali di telinga mu bukan?"
Gubernur menggelengkan kepala.
"Saya juga sangat sedih atas pilihan ini nak" ditatapnya Sunarji dengan penuh kasihan dan sedih. Kita masih dalam pembangunan, Nak. Pembangunan selalu meminta pengorbanan."
"Pembangunan tai kucing. Hanya orang goblok, yang bicara pembangunan di suasana biadab seperti yang terjadi sekarang ini".