-->
PERS DAN KELISANAN SEKUNDER WALTER J ONG
PERS DAN KELISANAN SEKUNDER WALTER J ONG

PERS DAN KELISANAN SEKUNDER WALTER J ONG

 PERS DAN KELISANAN SEKUNDER WALTER J ONG

Oleh: Hanif Muslim

Apapun yang ingin disampaikan pada orang lain salah satu opsinya adalah melalui wadah pewartaan (pers) sebagai jembatan, apakah itu bentuknya suara (speaking) atau tanda tulisan (writing) atau sandi (sign). Termasuk dakwah yang akan disampaikan bisa melalui pers. Baik media cetak seperti koran, tabloid, atau majalah, maupun media visual yaitu televisi. Dua genre media itu menyampaikan warta kepada publik.  Banyak hal yang disampaikan mulai yang sifatnya entertainment, politik, ekonomi, sosial, budaya, bisnis, kelucuan, hingga soal ideologi. Sehingga makna pers tidak terlepas dari kebutuhan dan kepentingan, bahkan kepuasan publik.

Pers memiliki peran sentral dalam tata perubahan masyarakat kita. Melalui pers atau media pewartaan terjadi sirkulasi budaya, kepentingan, doktrin, hingga ideologi. Dalam arus demokratisasi, pers menjadi salah satu pilar demokrasi karena perannya mengkampanyekan demokrasi. Pers diyakini dapat mengawal demokrasi yang hakiki dalam suatu komunitas masyarakat. Ia dapat mengkonsolidasikan massa, melakukan provokasi, agitasi dan menyatukan orang yang memiliki pandangan sama tentang suatu hal.

Para pejuang pra-kemerdekaan juga berjuangan melalui pers. Misalnya yang dilakukan Raden Mas Djokomono (Tirtohadisoerjo) (1880-1918) melalui koran harian Medan Prijai. Abdul Rivai (1871-1933) mendirikan Bintang Hindia. Wahidin Soediro Husodo membentuk Retnodhoemilah berbahasa Jawa dan Melayu. HOS Tjokroaminoto mendirikan koran Oetoesan Hindia. Ahmad Dahlan mendirikan Suara Muhammadiyah. Dari situ lahir semangat nasionalisme dan patriotisme. Melalui bacaan-bacaan itu rakyat indonesia menyadari dirinya yang ditindas.

Upaya Soekarno, Hatta, Natsir dan Sjahrir untuk membakar semangat kebangsaan dan kebebasan tidak bisa dilepaskan dari kerja-kerja kejurnalistikan. Pada 1926 Soekarno mendirikan kelompok studi Algemene Studieclub serta jurnal Indonesia Muda. Ia menjadi editor majalah SI, Bendera Islam (1924-1927). Namun demikian colonial mengintimidasi kebebasan pers ini karena dianggap membahayakan status quo-nya

Perjuangan di era pasca-kemerdekaan juga dibarengi penguasaan media. Buku Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia mencatat beberapa tokohnya diantaranya: Nono Anwar Makarim, maktivis angkatan 66, mendirikan Harian Kami. Koran ini menginspirasi lahirnya koran dan majalah kampus, misalnya Gelora Mahasiswa di UGM, Mahasiswa Indonesia di Kampus UI. Mimbar Demokrasi di ITB, dan Gelora Mahasiswa Indonesia di Malang.Tak lupa Mahbub Junaedi juga mendirikan media yaitu Duta Masyarakat, Semua media ini hadir untuk mengontrol kemungkinan kesewenang-wenangan orde lama.

Pada tahun1950-an, komunitas pers mengalami peningkatan peran dengan terbentuknya IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) yang diketua oleh T Yacob dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia) dikomendani oleh Nugroho Notosusanto. Selanjutnya dua institusi itu melebur menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia) pada 1955. Namun kejayaan ini tak berumur lama karena demokrasi terpimpin Soekarno berkehendak bahwa semua AD/ART pers mahasiswa menerapkan satu asas Manipol USDEK. Artinya pers harus menyuarakan aspirasi partai politik. Kemudian secara perlahan pers mahasiswa mengalami kemunduran.

Selama orde baru tidak ada media yang bebas dari pantauan rezim Suharto, segala pemberitaan dibatasi pada program-program pembangunan saja. Wartawan ditampung dalam PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang mengeluarkan kode etik versi pemerintah. Pencabutan surat izin penerbitan akan segera dilakukan jika media berani mengungkap belang pemerintah. Hingga muncul AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dibentuk oleh Gunawan Muhammad dan kawan-kawan, sebagai tandingan PWI, menolak kebijakan yang mengkrangkeng wartawan dan kebebasan pers.

Disrupsi media sosial dan Gelombang Skeptisisme

Hari ini pers telah keluar dari kerangkengnya sebagaimana yang terjadi pada masa orde-baru. Sekarang ia memiliki kebebasannya dalam mangekspresikan beragam informasi. Namun jika kita lihat lebih presisi sepertinya ada pola norak pada kebebasan pers di tengah disrupsi media sosial  (medsos), yaitu setiap orang dapat ngepos informasi apapun, ini penting bagi kecepatan tersampainya suatu informasi, tetapi pada saat yang sama tak ada yang bisa memfilter dan memverifikasi semua informasi yang dipos itu. Dampak besarnya ialah pada ketidakpastian kebenaran informasi tersebut.

Dan sepertinya, alih-alih pers mencerahkan akan informasi yang beredar, justru membuat keruh suasana. Berita yang beredar lebih banyak hoaks ketimbang fakta. Laporan Badan Intelijen Nasional (BIN) menunjukkan bahwa 60 persen konten media sosial adalah berita bohong alias hoaks. Kita tentu sudah merasakan ini semua. Lebih-lebih kecenderungan masyarakat  kita pada hal-hal kontraversial dan menyita emosi. Mereka menshare setiap berita yang singgah di akunnya  tanpa memeriksa tanggal berita, isi berita, sumber berita, dan pers yang mempublikasikannya. Ini semua penting karena berkaitan dengan verifikasi berita. Tindakan mereka membagi berita hanya karena judul berita cocok dengan emosinya, dan ingin segera membulli di wallnya. Ini suatu peristiwa yang menyedihkan dan jika dibiarkan akan menjadi tragedi yang memilukan.

Saya ambil contoh misalnya seorang ustadz A membolehkan suatu perkara berdasar argumen dan tafsir kitab sucinya, tak puas lalu dicari ustad B yang tak sepakat dan mengharamkannya atau paling tidak memakruhkannya. Ekonom C setuju dengan pembangunan dan kebijakan ekonomi yang berjilid-jilid, tapi posisinya tak sesuai kebutuhan, maka dicarilah ekonom D yang kontra pembangunan dengan sedikit  memiliki keahlian memaki. Ahli politik E menyatakan bukan pencitraan, namun ditolak karena tak menguntungkan dengan menghadirkan ahli politik F yang menyebut pencitraan, dst. Masing-masing pernyataan komentar ahli tersebut diolah oleh pers bentuk cetak, dikutip oleh pers online, lalu dikutipan ini dikutip lagi oleh Lembaga pers online yang lain, dst. Pers online terkahir kebingungan karena semuanya telah dikutip, lalu menggunakan prinsip ATM (Amati Tiru dan Modifikasi) dengan sedikit bumbu kontraversial. Alhasilnya, pendapat “google adsen”-nya melonjak.

Aforismenya jadi begini: tak ada kebaikan yang tak bisa dicari keburukannya. Tindakan baik selalu menyisakan sudut pandang buruk yang bisa dieksploitasi seradikal mungkin, atau malah sengaja dicari sudut kejelekannya. Sehingga dapat membalik kebaikan itu bercitra buruk. Itulah sebabnya, tak pernah ada persepsi kebaikan yang diterima oleh semua. Jika dinilai baik dari tinjauan pengetahuan, maka dicari lemahnya dari sudut dalil agama. Jika dipersepsi baik secara agama, maka dicari kelemahannya dibilik ekonomi dan politik, dan begitu seterusnya hingga kebaikan itu betul-betul dikaburkan. Selama hampir dua tahun terakhir ini kita benar-benar breakfast-lunch-dinner dengan hoaks, dengan menu yang beragam mulai menu favorit agama, politik, ekonomi, seksis, dan etnis.

Keadaan yang penuh dengan ketidakpastian akibat hoaks ini kemudian melahirkan badai keraguan (skeptis) yang dahsyat, atau bahkan ketidak percayaan terhadap pers. Kita semua kemudian antipati dengan kabar-kabar yang disajikan lembaga atau media pers, bahkan susah membedakan kabar yang faktual dan ilusional. Apa yang kita anggap faktual ternyata fiktif dan begitu sebaliknya. Inilah salah satu tantangan dari kebebasan pers, krisis kepercayaan antar sesama. Realitas ini lebih jauh akan melahirkan psimisme yang akut. Dan pers harus melawan tantangan disrupsi media sosial itu bukan lantas sebaliknya ikut memeriahkan, jika tidak maka saat itulah matinya pers.

Akhir kata

Dengan demikian, sekurang-kurangnya dapat kita ambil konklusi bahwa salah satu tantangan dari kebebasan pers di era disrupsi media sosial ini adalah melanggengkan apa yang disebut oleh walter J Ong dalam bukunya Orality and literacy sebagi budaya residual kelisanan atau kelisanan skunder yang memuat informasi dangkal disebabkan tidak adanya tradisi atau kebiasan membaca dan tidak adanya tradisi sabbathical atau cuti menggunjing untuk menulis karya ilmiyah.  Cicero, filsuf Italia, menyatakan bahwa tak ada satu hal pun yang tidak dapat diciptakan atau dihancurkan atau diperbaiki dengan kata-kata (pers). Untuk itu menguasai pers adalah suatu keharusan jika kita masih berniat untuk berdakwah dan menginginkan perubahan dan kontrol sosial terus jalan.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ong Walter J, Orality and Literacy, Kelisanan dan keaksaraan, Yogyakarta, Gading Publishing 2013

Satrio Arismundar. Bergerak: Peran Pers Mahasiswa dalam penumbangan rezim Suharto, Yogyakarta, Genta press 2005

Taufiq Rahzen et al. Tanah Air Bahasa: Seratus jejak Pers Indonesia, Jakarta, IBoekoe 2017

 


 

Baca juga: