Sudah hampir tiga tahun lamanya hamba kuliah di Jogja, menenggelamkan diri dalam hiruk-pikuk kehidupan di jogja, merasakan bagaimana belajar di kampus, ikut berkompetisi, memiliki guru-guru yang keren dan baik, Pak Rektor yang profesional. Tapi, hingga saat ini (ketika menulis tulisan ini) saya belum merasakan bagaimana menjadi mahasiswa yang memiliki Presma. Hampir tiga Tahun lamanya hamba menunggu-nunggu kabar BEM namun, ia seperti Bang Toyyib yang hilang begitu saja tanpa kabar dan kepastian.
Dari lamanya dibekukannya BEM, mungkin sudah terjadi sebuah pembiasaan pada para mahasiswa khususnya (MABA) seolah itu normal, baik dan seterusnya, lalu mahasiswa yang ngotot memimpikan BEM dianggapnya berbeda, alien, aneh dan laisa minni. Apakah BEM tidak seberguna itu, apakah kampus kita sudah merasa si paling adil, si paling tidak butuh BEM?
Begitu juga mahasiswa, apakah ia sudah merasa tercukupi, dan merasa kedaulatan mahasiswa sudah tegak?
Sampai kapan kita hanya akan berdiam diri asyik dengan dunianya sendiri? Apa Mahasiswa hanya seperti Siswa saja yang hanya belajar, bermain mencari kesenangan diri sendiri tanpa ada sedikitpun kepekaan sosial pada yang terjadi di sekeliling kita 'memprihatinkan'. Bukankah kita selalu mendaku bahwa mahasiswa itu adalah agent of control, agent of change dan kaum intelektual yang berpikir tentang suatu berubahan lebih baik.
Hamba memahami betul, sebagian besar mahasiswa memang kontra atau acuh tak acuh terhadap persoalan BEM ini dengan dalih "BEM cuman mengacaukan kerja-kerja kampus" Saya hargai asumsi itu sebab saya dan anda memang tidak harus berpikiran sama, tapi setidaknya kita bisa sama-sama mikir. Apakah kita lupa bahwa koruptor sering terlahir dari bangku pendidikan lantas apakah pendidikan tak perlu diadakan? Ayolah, mari kita lihat BEM sebagai mafhum bukan sebagai manthuq, atau dengan kata lain lihatlah mahasiswa sebagai nilai dan funsinya jangan hanya menilai mahasiswa dari kelakuan si A saja.
Selama ini yang kita rasakan adalah dinamika rektorat, civitas akademika, yang begitu hidup, berapi-api, progresif dan seterusnya, tapi coba kita lihat bagaimana dengan dinamika mahasiswanya? Statis dan begitu-gitu aja. Ada yang mengeluh HMPS sebagai (Plt) seolah berjalan tanpa kepala, tak ubahnya onani dan masturbasi setelah itu selesai. Tentu akan sangat panjang jika semua keluhan itu ditaruh di tulisan ini.
Padahal mahasiswa bisa dibilang bagian penting untuk memperjuangkan rakyat, karena mahasiswa bagian sentral dengan idealisme dan belum ternodai oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan. Jangan berpikir mahasiswa hanya belajar dalam ruangan yang sempit, tanpa melihat kondisi yang mengkwatirkan saat ini.
"Tapi kan UKM masih ada?" Ini sebuah logika terbalik yang terbangun. Sebab, eksistensi badan legeslatif dan eksekutif tidak bisa disamakan dengan UKM. Memang masih ada, tapi UKM itu menghimpun soft skill. Eksekutif dan legislatif itu terkait bagaimana caranya untuk mengeksekusi atau memformulasikan peran mahasiswa sebagai kontrol kampus atas kebijakan rektorat. Dan hal itu bisa dirasakan sendiri, Nyaris tanpa kritik.
Sebagai mahasiswa mental tempe. Saya malu jika terus-terus-an ditanya "Gimana kok BEM-nya nggak ada" Atau meme yang bernada nyinyir "kampus elit, BEM sulit" Lagi-lagi pertanyaan dan meme di atas mungkin terlihat receh untuk sebagian mahasiswa, tapi itu menyinggung persoalan eksistensi kita sebagai mahasiswa.
Pertanyaan kuncinya, Apakah pesta demokrasi akan benar-benar hilang dari Kampus Hijau ini? Perlu saya utarakan sebelum akhirnya di keselatankan, tulisan ini tidak memihak siapapun, sebab jika dilihat dari kawan-kawan Mahasiswa tidak ada pergerakan nyata dari KPU untuk melaksanakan Pemira.
Semua yang telah saya sampaikan tadi itu murni keresahan dari sudut pandang mahasiswa, lalu bagaimana dari kacamata birokrat UNU Jogja? Bak sayur tanpa garam, mungkin saat ini mereka merasa ada yang kurang, tapi masih bingung dan belum bisa menentukan kurangnya apa dan di mana, sebagai mahasiswa yang baik dan berbakti, izinkan saya membisikkan kekurangannya kepada Bapak Rektor yang terhormat, “BEM-NYA KOSONG, BAPAKKK.”
Penulis | Ibrahim | Hanif Muslim