-->
Mahasiswa: Mudarat atau Berkah untuk kota Jogja
Mahasiswa: Mudarat atau Berkah untuk kota Jogja

Mahasiswa: Mudarat atau Berkah untuk kota Jogja

Layaknya uang koin, kehadiran mahasiswa di Kota Jogja membawa efek dua sisi. Yaitu akibat baik atau berkah sekaligus bisa berakibat buruk atau mudarat. Bagaimana bisa? Setiap tahunnya puluhan ribu mahasiswa rantau dari luar kota bahkan luar pulau masuk dan berdiam di Kota Jogja. 

Setidaknya, menurut Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji saat membuka Jogja Menyapa menuturkan setiap tahunnya, di Jogja ada penambahan sekitar 60 ribu orang mahasiswa. Kalau digabung dengan mahasiswa yang sudah mengemban di Jogja kurang lebih ada 300 ribu mahasiswa yang datang tiap tahunnya. 

Angka ini diperkirakan akan terus bertambah seiring populernya Kota Jogja sebagai kota pendidikan. Jika dibandingkan dengan penduduk Kota Jogja asli perbandingannya sekitar 35 : 65 dalam artian mahasiswa asli Jogja tidak mencapai lima puluh persennya saja. Di sisi lain tidak semua mahasiswa yang diwisuda pulang kampung. Ini yang membuat Kota Jogja semakin terasa sesak. Baik padat bangunan gedung-gedung maupun kepadatan lalu lintas alias traffic jam.  

Menikmati jalanan Kota Jogja lima tahun silam dengan tahun-tahun ini mungkin akan terasa berbeda sekali. Saat ini hampir di semua jalan Kota Jogja macet. Jalan alternatif juga menjadi sasaran kemacetan. Situasi ini akan berbeda lagi di lima tahun yang akan datang. Bukan tidak mungkin Kota Jogja akan semakin macet dan tak ubahnya Kota Jakarta sebagaimana yang dikhawatirkan banyak pakar tata kota di Kota Jogja. 

Meningkatnya jumlah pendatang khususnya mahasiswa, setiap tahunnya telah membawa Jogja pada situasi dan problematika yang dilematis dengan maraknya pembangunan hotel berbintang dan pusat perbelanjaan di seluruh penjuru kota. Di satu sisi fenomena tersebut telah mendorong pertumbuhan investasi daerah, namun di sisi lain dinilai telah menggerus indeks kenyamanan hidup kota Yogyakarta. 

Konflik tersebut bahkan berujung pada kekhawatiran hilangnya keistimewaan Jogja. Pasalnya pembangunan kota tidak lagi berlandaskan pada acuan sejarah dan budaya, namun dari sisi ekonomi semata. Hal itu disampaikan oleh Dosen Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gadjah Mada Ir Suryanto MSP., dalam ujian terbuka promosi doktor di Fakultas Teknik, Jumat (28/8).

Hal negatif lainnya yang muncul adalah gesekan antar RAS yang berbeda. Sehingga sering mengakibatkan tawuran antar mahasiswa yang berbeda etnis. Sebagaimana keributan yang sudah mafhum terjadi di salah satu tempat hiburan di Babarsari, Seturan, Sleman. Keributan yang melibatkan dua kelompok ini sampai-sampai memunculkan julukan miring yang menyebut Babarsari sebagai Gotham City.

Mahasiswa Pelaris

Tetapi kita juga harus mengakui bahwa kehadiran mahasiswa ini juga menjadi salah satu penggerak ekonomi Kota Jogja. Para penjual makanan, minuman, pakaian (fashion), gatget bisa laku karena dibeli mahasiswa. Jenis apapun usaha makanan di Kota Jogja bisa laku. Memang tidak semua mahasiswa masak sendiri, sebagian besar masih memilih membeli karena pertimbangan efisiensi dan efektifitas waktu. 

Mereka harus fokus belajar dan menyelesaikan tugas-tugas kuliah. Tak hanya itu mahasiswa yang cenderung trendy dan fashionable membuat pakaian di lapak-lapak laris terjual. Itulah sebabnya pemkot Kota Jogja mendorong masyarakatnya untuk menjadi pelaku usaha kecil menegah, seperti menjual makanan dan minuman. 

Selain itu pemilik kos-kosan juga bisa laku. Tanpa susah payah para ibu kos tiap bulannya memperoleh masukan. Menurut penuturan Bupati Sleman tarif pajak kos-kosan ditetapkan sebesar 05 %. Dengan demikian kehadiran mahasiswa, melalui sewa kos, dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Kota Jogja. Peredaran uang mahasiswa di Kota Jogja mencapai miliaran rupiah. Dalam beberapa survey di Kota Jogja disebutkan terdapat 143  miliar uang mahasiswa pendatang yang beredar setiap Bulannya. Ini tentu peluang yang luar biasa untuk mensejahterakan masyarakat Kota Jogja. 

Minimalisir Mudarat

Untuk membuat kehadiran mahasiswa menjadi sesuatu yang positif. Maka masyarakat dan pemerintah Kota Jogja harus mampu meminimalisir mudaratnya dan meningkatkan potensi yang bisa digali. Misalnya soal kepadatan lalu lintas, selain menyiapkan fasiltas angkutan umum yang lebih nyaman dan aman (Trans Jogja) sehingga mahasiswa memilih angkutan umum ketimbang transportasi pribadi. Tentu harus ada yang mengatur parkir liar yang semakin mempersempit ruas jalan. 

Atau kampus dengan penuh sadar membuat anjuran, syukur-syukur larangan, agar mahasiswa tidak menggunakan motor atau mobil ke kampus. Karena apapun alasannya tiap kampus menjadi penyumbang kemacetan di Kota Jogja. Sebagai alternatif kampus bisa mendorong penggunaan sepeda pada mahasiswanya. Sehingga tercipta mahasiswa yang educopolis sebagaimana yang dipraktekkan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) dst. 

Dan kebijakan-kebijakan jenius lainnya dari pemkot Jogja untuk menjawab beberapa kekhawatiran dan beberapa mudarat di atas seperti persoalan atau prloblematika etnis dan sejenisnya.(*) 



Penulis | Ibrahim | Editor | Hanif Muslim | Gambar | Suldi |

Baca juga: