Di tengah masa-masa sidang akademik para mahasiswa senja (untuk tidak menyebutnya mahasiswa semester tua), barangkali kita sering dipertontonkan dengan salah satu pertunjukan (kebiasaan) memberikan hadiah kepada dosen penguji. Entah itu motifnya sebagai bentuk sedekah, hibah, dan kado lillahi taala, bihurmatil ilmi wa al ustadz atau malah sebagai upaya untuk meraih penilaian yang lebih baik. Tentu saya tidak bermaksud sama sekali menjadi mahasiswa yang bisa menebak isi hati seseorang.
Tulisan ini hanyalah bentuk keresahan dan keberatan bahwa di balik gratifikasi tersebut, secara tidak langsung telah mengancam dan menggerogoti integritas proses akademik. Tak peduli niat di balik pemberian hadiah mungkin saja baik, namun penerimaan hadiah atau gratifikasi oleh dosen penguji dapat menciptakan persepsi yang tidak sesuai di antara mahasiswa dan masyarakat secara umum.
Meskipun pemberian itu dimaksudkan sebagai tindakan penghormatan, tindakan ini secara tidak langsung akan tetap memiliki potensi untuk dianggap sebagai upaya mempengaruhi proses penilaian akademik dan menciptakan konflik kepentingan.
Hamba menyakini bahwa sekecil apapun pemberian akan memberikan dampak bagi mental dan objektivitas seorang penguji. Sekalipun pemberian itu sekadar serpihan rengginang misalnya. Dalam proses penilaian akademik ia akan menggangu independensi seorang penguji untuk tidak terpengaruh oleh hadiah atau gratifikasi yang diterima. Meskipun niatnya baik, pemberian hadiah dapat merusak integritas proses penilaian dan mengarah pada penilaian yang tidak adil.
Sejarah pasca-Reformasi telah memberikan kita pelajaran dan beberapa contoh bahwa praktik yang tadinya dilakukan secara meluas, yakni pemberian hadiah besar-besaran kepada seorang atasan dalam birokrasi pada kesempatan tertentu (seperti pernikahan anaknya, atau hari raya), lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya, karena tanpa sengaja hadiah-hadiah itu berfungsi sebagai gratifikasi yang membuat orang yang menerima tidak dapat bersikap correct dalam jabatannya. Apalagi sekarang sudah ada UU yang melarang gratifikasi semacam itu.
Memang tidak mudah bagi mahasiswa bersikap tegas dalam perkara ini. Saya memahami gelombang besar dilema yang dirasakan oleh mahasiswa. Ada ketegangan antara keinginan untuk menjaga integritas akademik dan tekanan untuk memenuhi harapan atau ekspektasi dari lingkungan sekitar, antara nilai-nilai etika dan integritas yang mereka anut dengan desakan untuk berbuat sebaliknya demi memperoleh keuntungan atau pengakuan yang lebih besar.
Mereka mungkin sadar bahwa memberikan hadiah sebagai upaya untuk mempengaruhi penilaian bukanlah tindakan yang etis, namun pada saat yang sama, mereka juga merasa tertekan oleh harapan dari pihak-pihak tertentu untuk berperilaku sebaliknya.
Selain itu, mahasiswa juga mungkin mengalami dilema antara keinginan untuk berprestasi secara adil dan kemungkinan konsekuensi negatif jika mereka menolak memberikan hadiah. Mereka mungkin khawatir bahwa dengan tidak memberikan hadiah, mereka akan dianggap kurang berusaha atau kurang menghargai kesempatan yang diberikan, sehingga berpotensi mempengaruhi hubungan mereka dengan dosen penguji atau lingkungan akademik secara keseluruhan.
Dalam situasi seperti ini, mahasiswa sering kali merasa terjebak dalam konflik internal antara keinginan untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang mereka anut dan tekanan untuk mengikuti norma atau harapan yang ada di sekitar mereka. Mereka mungkin merasa sulit untuk menentukan langkah terbaik yang dapat mereka ambil tanpa mengorbankan integritas atau reputasi mereka dalam proses akademik.
Kabar buruknya adalah, mereka memposisikan kebiasaan memberikan hadiah ini selayaknya persiapan materi yang mesti diujikan, mereka memikirkan biaya alokasi hadiah ini selayaknya pembiayaan wajib kampus. Dalam hemat saya (yang tidak terlalu hemat) kampus harus hadir dengan regulasi yang tegas untuk memutus lingkaran ketersambungan kebiasaan ini dan memberikan alternatif lain yang tidak menggangu integritas dan independensi seorang penguji dan yang terkhusus mengurangi beban mahasiswa. Right principle in the right place. Pemberian hadiah atau kado itu penting tetapi harus dilakukan dengan cara dan tempat yang baik pula. (*)
Penulis | Hanif Muslim | Editor | Ibrahim