Kebun yang mati
Aku duduk memeluk segala resah yang kini subur
Di rongga
kepala masih menjadi peristiwa
Tentang yang dulunya ada
Kini telah musnah
Tak tersisa sepatah kata,
Tentang kebun yang
Dulunya indah akan aksara
Kini telah gersang
Bak gurun Sahara
Mungkin tak akan lagi
Tumbuh bibit-bibit puisi
Sebab kebunku telah terlanjur mati.
Jogja.
Kasidah petani
Deru
rinai hujan
Menari
diantara atap-atap rumah
Membawa gemetar getar paling kekar bagi tanah
Yang merindukan nangghala*
Jhe’ li li li li *
Petani
menembangkan
Berbagai
macam madah kegembiraan
Atas
matinya kemarau berkepanjangan
Sedang
pada isyarat cambuk
Sapi menghujamkan
dalam-dalam bajaknya
Sebab pada coklak-coklak* itulah,
Para
petani mengekalkan segenap harap
Tentang
anak cucunya kelak.
Kota
Gede.
*jhe’ li li li li ucapan isyarat petani kepada sapi yang
digunakan untuk membajak supaya bergerak lebih cepat.
*Coklak merupakan sebutan bagi orang Madura
atas bekas guratan atau lubang pada tanah yang berasal dari hasil bajakan.
*Nangghala merupakan sebutan masyarakat Madura
bagi pembajak sawah yang digerakkan oleh sapi.
Apa yang lebih sakit daripada cinta, jika
Keduanya adalah sama?
Kemarilah
Mellisa. Duduk dan lihatlah
Sepasang
anjing yang tengah memadu kasih itu,
Rasanya
belum lama mereka berdua
Sama-sama
memanen sekuntum luka
“Tapi mereka masih saja tak
merasa jera di buatnya”
Apa
yang lebih sakit daripada cinta?
Jika
keduanya adalah sama.
“Begini, Mellisa, aku ingin
diantara huruf namaku dan namamu juga
terselip kata kita, seperti yang
sering dikatakan penyair
dalam puisinya. Tapi kurasa ini
hanya akan
jadi fatamorgana di tengah
Sahara”
Lantas,
apa yang membuat cinta tetap ranum?
Jika
akhirnya juga akan melahirkan air mata.
“Bagaimana jika seperti ini
saja, bolehkah aku mencintaimu
Di sepanjang jalan do’a saja,
sebab jika aku mencintaimu
Seperti mereka, aku hanya akan
menjadi belukar
Di pekarangan hatimu”
Lalu apa yang lebih rumit daripada cinta?
Jika
keduanya adalah sama.
Jogja,
2024 M.
Malioboro
Pedagang
asongan
Menjajakan
nasib kepada para pelancong
Supaya
ia rawat seperti nasibnya sendiri
Derap
jejak kuda
Menyeret
budaya orang-orang dahulu
Lalu
dibawanya sepanjang Malioboro
Diantara
lalu lalang orang berjalan
Dan
angkringan memanjang
Memajang
berbagai macam makanan juga
Menu
kenangan
Sedang
pada bara arang
Kepul
teko mengikhwalkan rindu
Di
cangkir kopinya.
Jogja,
2024 M.
Ini kisahmu tuan
Izinkan
aku bercerita, tuan
Pada
deretan bangku yang kaku
Tubuhku
merangkul bingung
Perihal
macam kata yang membuncah
Mengutukku
dari segala arah
Aku
heran,
“tuan,
kau ini sedang berorasi atau berpidato?”
Asal
kau tahu, dalam kepalamu itu
Penuh
akan segala macam pabrik
Sedang
mulutmu kerap kali
Menyemburkan
asap-asap polusi
Jika boleh aku mendefinisikan, tuan
Kata-katamu terlanjur yatim untuk kami
dengarkan
Jogja,
2023 M.
Ferdy Kurniawan, merupakan mahasiswa aktif
universitas Nahdlatul ulama Yogyakarta.