Tak seorang pun
yang datang lalu mengakui, “Kau adalah sebuah bayangan di pagi ketika
burung-burung semua harus berlari.” Kau mengetahui bahwa bunga akan mekar di
saat gunung di Mandioli mulai menunjukkan mukanya yang berwarna-warna itu.
Setiap pagi, kau
disuguhkan dengan minuman khas di hutan, di pinggir kampung yang jauh.
Daun-daun ramuan itu pasti bercerita bagaimana kerutmu, bagaimana kecewamu di
tempat lain mencicipi teh semerbak, dan kau, air daun-daun yang hitam, pahit
melukis pagi-pagi yang sayang.
Belum juga mengisi
perut, semua pepohonan halus-halus terlebih dulu harus kau habisi. Merenggut
tanah, membuat pola kehidupan yang kau mimpikan semalam. Hari-hari di samping
pintu jujaga, di malam batoreba keras-keras, niatmu sehebat mengelabui semua
hantu hutan dan ladang.
Setiap diam yang
kau buat, ialah gerak yang kau punya sebenarnya. Jiwamu! Meronta-ronta meminta
jatah pada langit dan gunung, kalau bukan sebuah drama kehidupan, bagaimana
jika semua tidaklah nyata terjadi di alammu itu? Sebuah cerita gentayangan di
pusat bayang-bayang pejuang dulu, lalu kau membuat sebuah alur memanjangkan
dengan jalanmu sendiri. Kau buat-buat, kau benar-benar! Kejadian memang takkan
perah terulang dua kaling apalagi lebih, tetapi semuanya bisa kau sambung
sepanjang yang kau mau.
Kau ingat, bahwa
rembulan adalah waktu terindah yang jarang dinikmati di luar. Kau berjalan ke
laut yang dalam, menenggelamkan semua
ide dan pintamu, mengaitkankan pada kail yang kau racik di dapur jujaga. Di
tengah malam harus menjadi alasan kau menunggu, mendapat balasan langit di
bawah bayang-bayang, di laut yang yang tenang. Arus membawamu pulang, membawa
ide dan pinta, juga menjadi alasan si dia terkantuk-kantuk melepas, dan memasak
semua ide dan pintamu. Mereka, si kecil-kecil itu hanya merasa lelap sebagai
penantian, karena dia harus mengasuhmu dan mereka, si kecil-kecil itu.
Mereka, si
kecil-kecil itu, memang banyak meminta. Bahkan di malam sekali pun, mereka
tersadar dengan janji itu. Padahal hutan belantara itu sepi, tak berkeramaian,
tanpa listrik, tv, atau radio sekadar mendengar kabar dan hiburan. Tidak ada
telepon genggam, di hutan tak mengenal itu. Hanya malam jumat menjadi makna
riang dalam hari-harimu. Cuman sabar dan diam, itulah gerakan yang kau hujamkan
dalam-dalam ke ingatan, dan si dia. Tanpa cerita pun semua sudah berbicara
diam-diam di malam panjang, dari jujaga dan galampa kehidupan.
“Inikah kehidupan? Inilah
kenyataan!” Kau sibuk memaknai, hidupmu yang tak sampai-sampai, dan harap-harap
yang kau garap, mengisi semua janji, seperti makna dalam puisi, janji itu kau
pahami. Makna yang mereka, si kecil-kecil mengerti, itulah makna yang menjadi
janji.
“Janji itu tak
berdiri sendiri, seperti makna dalam puisi. Kalau semua terpahami, apalah
keindahan pada janji? Mungkin tak akan bermakna dan sepesial sebagai strategi ber-waktu.”
Kau terus,
menebak-nebak bayang-bayang dan makna yang terus tersembunyi. Kau mencarinya
dalam kamus ingatan setiap orang yang kau temui di jalanan dan persinggahan. Maknaa
maknaa!?
Penulis | Suldi Ismail
Ditulis dengan genangan kenangan tahun-tahun yang dulu. Pembaca memerlukan referensi tertentu agar bisa memahami tulisan manusia ini.