-->
Strategi Ber-waktu dan Makna-Maknanya: Sebuah Esai Oleh Suldi Ismail
Strategi Ber-waktu dan Makna-Maknanya: Sebuah Esai Oleh Suldi Ismail

Strategi Ber-waktu dan Makna-Maknanya: Sebuah Esai Oleh Suldi Ismail

 


Tak seorang pun yang datang lalu mengakui, “Kau adalah sebuah bayangan di pagi ketika burung-burung semua harus berlari.” Kau mengetahui bahwa bunga akan mekar di saat gunung di Mandioli mulai menunjukkan mukanya yang berwarna-warna itu.

Setiap pagi, kau disuguhkan dengan minuman khas di hutan, di pinggir kampung yang jauh. Daun-daun ramuan itu pasti bercerita bagaimana kerutmu, bagaimana kecewamu di tempat lain mencicipi teh semerbak, dan kau, air daun-daun yang hitam, pahit melukis pagi-pagi yang sayang.

Belum juga mengisi perut, semua pepohonan halus-halus terlebih dulu harus kau habisi. Merenggut tanah, membuat pola kehidupan yang kau mimpikan semalam. Hari-hari di samping pintu jujaga, di malam batoreba keras-keras, niatmu sehebat mengelabui semua hantu hutan dan ladang.

Setiap diam yang kau buat, ialah gerak yang kau punya sebenarnya. Jiwamu! Meronta-ronta meminta jatah pada langit dan gunung, kalau bukan sebuah drama kehidupan, bagaimana jika semua tidaklah nyata terjadi di alammu itu? Sebuah cerita gentayangan di pusat bayang-bayang pejuang dulu, lalu kau membuat sebuah alur memanjangkan dengan jalanmu sendiri. Kau buat-buat, kau benar-benar! Kejadian memang takkan perah terulang dua kaling apalagi lebih, tetapi semuanya bisa kau sambung sepanjang yang kau mau.

Kau ingat, bahwa rembulan adalah waktu terindah yang jarang dinikmati di luar. Kau berjalan ke laut  yang dalam, menenggelamkan semua ide dan pintamu, mengaitkankan pada kail yang kau racik di dapur jujaga. Di tengah malam harus menjadi alasan kau menunggu, mendapat balasan langit di bawah bayang-bayang, di laut yang yang tenang. Arus membawamu pulang, membawa ide dan pinta, juga menjadi alasan si dia terkantuk-kantuk melepas, dan memasak semua ide dan pintamu. Mereka, si kecil-kecil itu hanya merasa lelap sebagai penantian, karena dia harus mengasuhmu dan mereka, si kecil-kecil itu.

Mereka, si kecil-kecil itu, memang banyak meminta. Bahkan di malam sekali pun, mereka tersadar dengan janji itu. Padahal hutan belantara itu sepi, tak berkeramaian, tanpa listrik, tv, atau radio sekadar mendengar kabar dan hiburan. Tidak ada telepon genggam, di hutan tak mengenal itu. Hanya malam jumat menjadi makna riang dalam hari-harimu. Cuman sabar dan diam, itulah gerakan yang kau hujamkan dalam-dalam ke ingatan, dan si dia. Tanpa cerita pun semua sudah berbicara diam-diam di malam panjang, dari jujaga dan galampa kehidupan.

“Inikah kehidupan? Inilah kenyataan!” Kau sibuk memaknai, hidupmu yang tak sampai-sampai, dan harap-harap yang kau garap, mengisi semua janji, seperti makna dalam puisi, janji itu kau pahami. Makna yang mereka, si kecil-kecil mengerti, itulah makna yang menjadi janji.

“Janji itu tak berdiri sendiri, seperti makna dalam puisi. Kalau semua terpahami, apalah keindahan pada janji? Mungkin tak akan bermakna dan sepesial sebagai strategi ber-waktu.”

Kau terus, menebak-nebak bayang-bayang dan makna yang terus tersembunyi. Kau mencarinya dalam kamus ingatan setiap orang yang kau temui di jalanan dan persinggahan. Maknaa maknaa!?


Penulis | Suldi Ismail

Ditulis dengan genangan kenangan tahun-tahun yang dulu. Pembaca memerlukan referensi tertentu agar bisa memahami tulisan manusia ini.

Baca juga: