-->
Ruang Hidup Rakyat dan Ruang Mistifikasi Penguasa
Ruang Hidup Rakyat dan Ruang Mistifikasi Penguasa

Ruang Hidup Rakyat dan Ruang Mistifikasi Penguasa

 

Ruang Hidup Rakyat dan Ruang Mistifikasi Penguasa:

Potret Penyingkiran dan Perampasan Ruang Hidup Warga Kota Warisan Dunia dalam Diskusi Publik

Tak pernah lelah, karena ruang itu adalah lempengan-lempengan kehidupan semenjak 65, dan tahun-tahun 70an yang keras dan memeras. Begitu Supriyati (PKL Malioboro) mengenang perjuangan sang bapak yang saat ini hanya bisa pasrah sekaligus menerimakan semua jalan juang kepada anaknya karena faktor usia (11/10). Supriyati, sekali lagi tak habis pikir bagaimana penguasa saat ini seperti memvalidasi keserakahan dan ketidakpedulian terhadap ruang hidup rakyatnya.

Perampasan ruang hidup dengan narasi membangun kebudayaan yang seringkali digunakan penguasa untuk menggali dalam-dalam ambisinya, sebenarnya sangat terang-terangan penuh mati malu. Semua itu memang rancangan yang tak tiba-tiba. Secara sistematis dan terencana memilihkan rakyatnya mati pelan-pelan atau tanpa detik-detik terakhir. “... sehingga lebih baik kami memilih mati pelan-pelan dengan kemungkinan ada obat untuk hidup lagi daripada langsung mati,” keluh Yulianto- warga PKL korban relokasi PSN-KSPN.

Pemerintah Kota Yogyakarta, kata Bayu (Ahli Politik Agraria & Keistimewaan), telah melakukan eskpansi terhadap ruang hidup rakyatnya. “Tanah itu sebenarnya sebatas tanah pakualaman berdasarkan UU Keistimewaan,” jelasnya. UU No. 13 Tahun 2012 tentang hak pengelolaan dan pemanfaatan tanah Keistimewaan DIY dengan sangat terang dan jelas menyatakan, bahwa pengelolaan dan pemanfaatan harus berkepentingan sosial, kesejahteraan masyarakat, dan pengembangan kebudayaan. Namun nyatanya, warga masyarakat tak terelakkan dari menjadi korban hasil kilahan penguasa.

Bayu membeberkan bagaimana pemerintah DIY secara tersistematis dan terencana melakukan semua itu. Dimulai dari pembangunan parkiran Abubakar Ali dengan menggeser PKL setempat, saat penggeseran tersebut dirasa berhasil-kesimpulannya, yang lainnya semestinya dapat diatasi. Lalu, pengadaan kegiatan reresik Malioboro- mendorong para PKL keluar dari area Malioboro dengan alasan sterilisasi kawasan, termasuk andong dan becak hingga penggusuran Sarkem yang menjadi proposal keberhasilan dalam melaksanakakn awalan Penggusuran Besar-Besaran. Data dan hasil observasi kesemua itulah yang kemudian menghasilkan kesimpulan “kalau hal itu dapat dilakukan kenapa yang lain (PKL Malioboro dll) tidak?”

Warga yang kesal, bertanya-tanya, bagaimana arahnya ke depan, ketika ruang hidup digusur? Bagaimana dengan pekerjaan kami? Sekolah anak-anak kami? Para penjual dan pemulung akan semakin miskin dan melarat-hilang dari KTP, visi-misi dan janji penguasa ketiak kampanye.

warga PKL hanya menginginkan dialog, meminta partisipatif yang berkeadilan, transparansi yang jujur, dan kejelasan yang berkomitmen. “Gubernur tidak responsif, kami meminta dialog-dua arah, bukan satu arah. Tapi nyatanya, sudah satu arah, lewat media pula tangggapannya (Gubernur), dialog macam apa? Pasrtisipatif dari mananya?” tegas Supriyati. Semua mistifikasi yang ditunjukkan penguasa untuk mengendalikan rakyatnya yang awam dan lugu. Mereka yang termasuk di dalamnya tanpa sadar bersekongkol dalam euforia mistifikasi mereka juga.

Penulis | Abdullah | Editor & Foto | Suldi

Baca juga:

Next
This Is The Current Newest Page